Hilangkan Mitos Presiden RI Harus Orang Jawa

Arwah Machiavelli berkeliling dunia hendak melihat konsep kekuasaan di berbagai negeri. Pada Presiden Prancis ia bertanya, ” bagaimana cara anda bisa berkuasa?” Dijawab, “kalau saya dipilih via pemilu, yang suka memilih saya, yang tidak suka boleh jadi oposisi!”
Pada Presiden Amerika ia bertanya, ” Bagaimana kau bisa berkuasa?” Dijawab, ” Saya bisa berkuasa karena para bankir dan pengusaha ada di belakang saya.”
Pada Presiden Rusia ia bertanya, ” Bagaimana kalian bisa berkuasa?” Dijawab, ” Saya bisa berkuasa karena menjanjikan kemakmuran bersama.”
Pada Presiden Indonesia ia juga bertanya. “Bagimana cara kau bisa terus berkuasa.” Dijawab, ” Karena Saya Berkuasa!” Machiavelli bersujud.
Kalimat diatas berasal dari buku berjudul Mati ketawa cara dari pada Soeharto, sebuah buku humor politik yang menyindir kekuasaan absolut Presiden ke-2 RI. Soeharto bukan presiden biasa dia berhasil menggemgam republik ini selama 32 tahun. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud membahas detail tentang Soeharto, kapasitas saya terbatas saya bukan ahli sejarah dan politik.
Yang ingin saya sampaikan bahwa kita punya enam orang yang pernah menjadi presiden, Soeharto merupakan satu dari lima presiden Indonesia dari tanah Jawa lainnya Soekarno, Gus Dur, Megawati, dan SBY, sedangkan satu lagi adalah Prof. Habibie yang setengah Bugis setengah lagi Jawa dan hanya memerintah satu setengah tahun. Sebagai mayoritas di republik ini bisa dimaklumi kalau kepimpinan nasional menjadi jatah orang Jawa, rumusnya sederhana ini negara demokrasi dan demokrasi menganut sistem suara terbanyak (majority).
Bahkan negara adikuasa Amerika harus menunggu selama 200 tahun lebih untuk memiliki seorang presiden dari kulit hitam. Ini realita yang nyata yang terjadi dihampir semua negara, sama halnya jika anda bertanya kok India tidak pernah memiliki perdana menteri muslim, yah itu karena sangat sulit seorang muslim yang hanya 10-15% bisa memenangkan pemilihan langsung di negara mayoritas non muslim. Dalam beberapa hal demokrasi dianggap sebagai buah khuldi politik,dimana semua keputusan berdasar pada suara terbanyak, majority vote.
Pada pilpres 2014 mendatang diperkirakan capres dari non jawa memilik kans yang cukup besar untuk membalikkan tradisi kepimpinan nasional ini, Golkar punya ketua umum yang asli Lampung, Sumatera juga Partai Amanat Nasional yang diramal akan menggadang-gadang ketumnya maju pada pilpres mendatang juga berasal dari Sumatera. Sadar akan munculnya penantang dari non Jawa, Ruhut Sitompul yang asli Sumatera namun mencari duit di Jawa mengungkapkan “jangan mimpi politisi non Jawa bisa jadi presiden” . Ada benarnya pernyataan bang Ruhut ini, kedua capres dari non Jawa ini -jika keduanya berambisi maju- akan dikepung capres-capres dari Jawa sebut saja Prabowo, Megawati, Wiranto serta duo demokrat Anas Ubaningrum & Ani Yudhoyono serta Pramono Edi Wibowo
Entah benar atau tidak-sekali lagi saya bukan ahli sejarah- bahwa pernah suatu hari menjelang jatuhnya orde lama Jenderal Abdul Haris Nasution pernah ditawarkan jabatan presiden, namun Nasution menolak karena dia bukan orang Jawa, AH. Nasution lebih memilih sebagai ketua MPRS.
Walau banyak yang menyoroti gaya kepimpinan Jawa yang cenderung berhati-hati seperti SBY, berlama-lama berkuasa seperti Soekarno dan Soeharto tapi sangat sulit mematahkan tradisi ini bahwa Jawa memiliki kans lebih besar, dalam memilih orang Indonesia cenderung melihat hubungan keluarga, kekerabatan dan sukuisme. Tengok saja pada setiap pemilihan DPR, Gubernur bahkan Kades para calon terlebih dahulu mengumpulkan suara dari lingkungan keluarga.
Perbandingan kualitas kepimpinan bisa dilihat pada posisi wakil presiden, Bung Hatta dan Jusuf Kalla dua wakil presiden non Jawa yang dianggap sebagai wapres paling hebat, reputasi mereka diatas wapres-wapres dari Jawa seperti Soedarmono, Try Sutrisno, Megawati hingga Boediono.
Banyak yang berpendapat di jaman modern ini tidak cocok lagi membicarakan dikatomi Jawa dan non Jawa, siapapun yang maju jika dianggap berkualitas pasti rakyat memilihnya, tapi jangan lupakan sebagian besar rakyat kita masih senang dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari satu daerah/suku dengannya. Pembuktiannya nanti pada pilpres 2014, mari bersabar menunggu.

Comments