SUKU AKIT
Orang Akit atau orang Akik,
adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat
di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada
masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas
rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat
lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah
sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka
mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan
sekitar 4500 jiwa.
Orang Akit telah bermukim di
daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya
catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan
Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda
yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa
perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional
berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.
Mata pencaharian pokok orang Akit
adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu
sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan
hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah
kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan
cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu
sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.
Hubungan orang Akit dengan
masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung
oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu
lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”.
Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan
mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan
obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang
disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa
kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan
mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik
pertanian modern.
Sistem kekerabatannya bersifat
patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai
15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti
suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara
pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis
tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Komunikasi dengan masyarakat di
sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah
mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari
mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima
dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah
ini.
SUKU SAKAI
Suku
Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang
hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau
yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman
Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar),
Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat
dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian
besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti
mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen
Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak
4.995 jiwa.
Suku
Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup
berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri
tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang
menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan
kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih
heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok
masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya,
masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau
kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
a.
Asal-usul suku Sakai
Ada yang
berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung
hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu.
Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku
Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara
orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan
bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah
orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh
kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan
berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum
Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua
atau Proto-Melayu.
Gelombang
migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang
terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut
sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi
bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak
kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman,
orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang
dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang
kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Sementara
pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan
Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah
penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara
di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat
penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang
berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki
kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman
baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di
tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber
kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar
sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang
kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat
ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka
memang berasal dari Negeri Pagarruyung.
Bisa jadi
anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar.
Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan
Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat
di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
b.
Arti Nama Sakai
Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata
Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang
hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di
sungai berupa ikan.
Jelas
julukan ini diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal
tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti
kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi
banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang
semakin sempit di daerah Riau.
c.
Kepercayaan
Salah
satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang
Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara
orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama
nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis,
dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah
kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar
mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya
manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman
antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum
pernah dijamah manusia.
d.
Perkembangan Dan Pertumbuhan Didaerah Globalisasi
Kehidupan
masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja
perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra
lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman
penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan
juga pola hidup suku sakai.
Mereka
kini jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang.
Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai,
kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen.
Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak
lagi menyelimuti kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki
sekolah.
Diharapkan,
kedepan, keterbelakangan Suku Sakai bisa diatasi, dengan mengikutsertakan
mereka pada program-program pembangunan.
Comments
Post a Comment