Pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda. Gunung ini kemudian meletus dahsyat dan menyisakan sebuah kawah besar (kaldera). Gunung yang meletus tersebut merupakan induk dari Gunung Krakatau yang kemudian meletus tahun 1883 dan menjadikannya salah satu letusan gunung terdahsyat di muka bumi.
Letusan gunung di Selat Sunda ini pernah tercatat dalam sebuah teks Jawa Kuno berjudul “Pustaka Raja Parwa” tahun 416 Masehi. Keterangan ini diperkuat pernyataan dua pakar geologi asal Belanda yaitu Verbeek (1885) dan Berend George Escher (1919, 1948). Keduanya lama bekerja di Indonesia dan melakukan penyelidikan tentang sejarah letusan Krakatau. B.G. Escher menyetujui bahwa yang dimaksud teks kuno Jawa tersebut adalah sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Krakatau Purba yang pernah meletus.
Teks Jawa kuno “Pustaka Raja Parwa” menceritakan bagaimana dahsyatnya letusan gunung purba ini.
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatera.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat Krakatau Purba hancur dan menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi kawahnya kemudian dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung.
Ledakan Krakatau Purba diperkirakan para ahli berlangsung 10 hari dengan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter. Tidak hanya itu, bencana ini juga menurunkan temperatur bumi sebesar 5-10 derajat dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun dan menimbulkan penyakit sampar bubonic (Bubonic plague) karena temperatur bumi yang mendingin. Bahkan penyakit sampar ini juga secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi saat itu.
Letusan gunung ini juga diperkirakan ikut andil terjadinya abad kegelapan di muka bumi dan berakhirnya peradaban Persia purba, beralihnya bentuk Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar peradaban Maya, peradaban Tikal, serta peradaban Nazca di Amerika Selatan.
Catatan penelitian Krakatau Purba dari Berend George Escher dan Verbeek juga didukung beragam dokumen sejarah dari Nusantara, Siria, dan Cina tentang sebuah bencana yang sangat dahsyat terjadi di abad 5 atau 6 Masehi dan mengakibatkan Abad Kegelapan di seluruh dunia. Ice Cores di Antartika dan Greenland juga mencatat jejak ion sulfate vulkanik berumur 535-540 M dan diperkirakan kiriman bencana dahsyat Gunung Purna Krakatau.
Kedahsyatan Erupsi Krakatau 1883
Gunung Krakatau sebelumnya pernah meletus tahun 1680 dan menghasilkan lava andesitik asam. Berikutnya tahun 1880, Gunung Perbuwatan di Pulau ini kembali aktif mengeluarkan lava tanpa letusan. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883.
Setelah 200 tahun tertidur, kemudian terjadi letusan kecil di Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal akan terjadinya lanjutan sebuah letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul letusan kecil beruntun hingga puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883 dan tidak akan dilupakan penduduk Pulau Jawa dan Sumatera, bahkan penghuni Bumi.
Bumi dan manusia menjadi saksi, Senin, 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20 meletuslah Krakatau. Kekuatannya sangat dahsyat dan mengerikan. Para ahli menyebut bahwa saat itu letusannya setara dengan 13.000 kali kekuatan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Keesokan harinya sampai waktu yang cukup lama, penduduk Batavia (Jakarta
) dan Lampung tidak lagi melihat sinar Matahari karena tertutup kabut asap yang amat tebal.Letusan Krakatau menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan, serta sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang lalu membuat cekungan selebar 7 km sedalam 250 meter. Sekitar 23 km² bagian pulau ini termasuk Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan surut ke dalam kaldera. Ketinggian asli Gunung Danan saat itu sekitar 450 meter kemudian runtuh sampai kedalaman 250 m di bawah permukaan laut.
Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau telah terdengar sampai radius lebih dari 4600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur. Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di bumi.
Simon Winchester, ahli geologi dari Universitas Oxford Inggris sekaligus penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan Krakatau adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Letusan Krakatau melemparkan batuan apung dan abu vulkanik bervolume 18 kilometer kubik. Debu vulkanisnya menyembur hingga 80 km. Hamburan benda-benda bumi berterbangan ke udara lalu jatuh di dataran Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Bahkan benda vulkanik juga telah tiba hingga ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru.
Ribuan orang di Pulau Sumatera tewas akibat debu panasnya dan mega tsunami. Gelombang laut raksasa itu naik setinggi 40 meter lalu menghancurkan pemukiman desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tidak hanya tsunami yang terjadi tetapi juga diikuti longsoran bawah laut.
The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Korban tewas resmi yang dicatat pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417 jiwa, meskipun beberapa sumber memperkirakan lebih dari 120.000 jiwa. Korban yang tewas berasal dari 295 kampung di kawasan pantai mulai dari Serang hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan serta ke Sumatera Selatan. Di Ujung Kulon, tsunami masuk sampai 15 km ke arah barat. Gelombang tsunami juga merambat hingga ke Hawaii, pantai barat Amerika Tengah, dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu km. Ada laporan yang didokumentasikan dimana tengkorak manusia mengambang di atas rakit di Samudra Hindia sampai satu tahun setelah letusan.
Dampak gabungan dari aliran piroklastik, abu vulkanik, dan mega tsunami telah mengakibatkan salah satu bencana terbesar di muka bumi. Kedashyatan letusan Krakatau tidak sebesar letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora yang juga masih di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru, dan Gunung Katmal di Alaska. Akan tetapi, populasi manusia di sekitaran Krakatau saat itu sudah cukup padat dan bencana ini juga terekam oleh perkembangan sains dan teknologi yang berkembang saat itu. Letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Namun, ahli geologi saat itu belum mampu memberikan penjelasan mengenai penyebab letusannya.
Peneliti dari University of North Dakota menyebut ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern.
Letusan Krakatau telah menyebabkan perubahan iklim global bumi. Dunia menjadi merasakan siang harinya gelap selama 2 ½ hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Sinar Matahari redup tertutup kabut asap selama hampir setahun berikutnya. Hantaran debu vulkanik ini bahkan tampak di langit Norwegia di Eropa hingga ke New York di Amerika Serikat.
Gunung Anak Krakatau
Setelah letusannya Krakatau 1883, dua pertiga dari pulau Krakatau runtuh tenggelam ke dasar laut lalu tiba-tiba 44 tahun setelahnya yaitu pada 1927, sebuah pulau baru muncul di lokasi yang sama dan sesekali mengeluarkan semburan lava. Pulau baru itu disebut Anak Krakatau.
Anak Krakatau menyeruak ke permukaan bumi dari kawasan kaldera purba tersebut. Gunung ini pun ternyata masih aktif dan terus bertambah tingginya sekitar 20 inci per bulan. Dalam setahun menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tingginya sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung maka dalam waktu 25 tahun penambahan tingginya mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya.
Penyebab bertambah tingginya gunung ini disebabkan material yang keluar dari perut gunung baru tersebut. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.
Tidak ada teori yang masuk akal tentang kapan Anak Krakatau akan kembali meletus.
Profesor Ueda Nakayama, seorang ahli gunung api dari Jepang, menyatakan bahwa Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu dimana wisatawan dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkannya.
Comments
Post a Comment