Sudah lama sekali sebetulnya aku mau menceritakan tentang pendidikan di
Indonesia, terutama keanehannya. Dari nama tempat mendidik aja udah
aneh. Sebagai contoh, ketika SD ada kelas 1-6. Tapi kenapa setelah SMP
malah hanya kelas 7-9 dan SMA 10-12. Mengapa tidak ada kata kelas 1
SMP-6 SMP tapi hanya ada 7-9 SMP. Begitu pula dengan SMA. Kalau pun mau
menyebut tingkat pendidikan seharusnya cukup dengan menyebutkan angkanya
saja, seperti kelas 1 sampai kelas 12. Gak usah pakai embel-embel SD,
SMP, SMA segala.
Aku berpendapat bahwa sampai kapanpun pendidikan dan kualitas SDM
Indonesia tidak akan pernah bagus apabila hanya mengandalkan "Nilai
raport" bukan "Kemampuan". Seperti masuk sekolah saja contohnya, kita
harus punya nilai yang bagus, padahal nilai yang kita dapat tadi belum
tentu dari hasil kemampuan kita sendiri. Jadi, sebaiknya untuk masuk
sekolah itu harus ada tes-nya barulah pendidikan bisa berkualitas.
Dampaknya, karena pendidikan Indonesia cuma mengandalkan "Nilai" jadi
para pelajar akan melakukan berbagai cara demi meraih nilai yang tinggi.
Dari mencontek hingga les dengan guru mata pelajaran dengan 'tujuan
lain', semuanya mereka lakukan. Alhasil, ketika masuk dunia kerja, akan
banyak pribadi-pribadi yang kesulitan, hingga berujung pada sebuah
pengangguran. Mungkin itu alasannya seorang sarjana bisa menganggur.
Mereka adalah "Pribadi yang Pintar, bukan Cerdas"
Selain itu, faktor dari orangtua yang berprinsip agar anaknya dapat
nilai tinggi dan selalu juara kelas juga supaya memiliki masa depan yang
baik adalah alah. Sekedar memperbaiki konsep yang salah tadi, aku telah
mengadakan observasi kecil-kecilan. Aku mengajukan pertanyaan, mengapa
anda selalu menyuruh anak anda untuk mendapat nilai tinggi? Sebagian
besar mereka menjawab supaya mereka bisa dapat sekolah yang berkualitas
bagus. Kemudian aku tanya lagi, untuk apa anak anda belajar di sekolah
yang berkualitas? Supaya dia bisa lulus sebagai pribadi yang pintar. Aku
lanjutkan, mengapa anda menginginkan mereka pintar? Agar mereka bisa
bekerja di sebuah perusahaan atau departemen yang bagus. Aku bertanya
lagi, Dan jika itu terjadi? Maka mereka bisa menyongsong masa depan yang
cerah.
Dari sebuah observasi sederhana tadi, aku berkesimpulan bahwa mereka
meminta anaknya agar mempunyai nilai yang baik, adalah supaya bisa
bekerja di tempat yang layak dan dapat masa depan yang cerah. Disinilah
konsep yang salah itu. "...supaya bisa bekerja di tempat yang layak..."
tidakkah kalian pikir itu keliru? Setiap tahunnya, ada lebih kurang 9,5
juta manusia yang pintar akan melamar kerja. Dan perbandingan untuk bisa
diterima jelas lebih kecil dibanding peluang untuk ditolak. Karena
jumlah lapangan pekerjaan lebih sedikit daripada jumlah orang yang
melamar. Lalu kita akan bersaing dengan 9,5 juta orang tadi demi
mendapat sebuah pekerjaan. Bagaimana jika kita balik? Bagaimana jika
kitalah orang yang menerima lamaran, bukan orang yang memberi lamaran.
Dalam arti lain, kita adalah seorang wirausahawan dan bukan karyawan.
Bukankah peluang 9,5 juta : 1 lebih besar daripada 1 : 9,5 juta?
Menjadi satu orang cerdas ketimbang menjadi salah satu dari sekian orang
pintar jauh lebih baik. Mungkin dari teman-teman masih belum mengerti
perbedaan antara Cerdas dan Pintar. Insya Allah aku jelaskan di
postingan berikutnya.
Hanya karena konsep "Nilai, bukan Kemampuan" inilah akibatnya. Sangat
berpengaruh. Ini hanya salah satu dari keanehan pendidikan di Indonesia
dari sekian banyak keanehan.
Comments
Post a Comment