
Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibentuk
melalui perjuangan bangsa Indonesia untuk
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang
ingin kembali berkuasa menjajah Indonesia melalui kekerasan senjata. TNI pada
awalnya merupakan organisasi yang bernama Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Kemudian
pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat
Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan
rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara
kebangsaan terus berjalan, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan
kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata
yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada
tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan
berdirinya Tentara Nasional
Indonesia (TNI) secara
resmi.
Setelah Konferensi Meja
Bundar (KMB) pada
bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan
nama Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Sejalan dengan itu maka dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan antara TNI danKNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berganti
nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan
kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernamaAngkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini
dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efetifitas dan efesiensi dalam
melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik tertentu.
Pada tahun 1998 terjadi
perubahan situasi politik di
Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada
tanggal1 April 1999 TNI dan Polri secara
resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai
tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.
Periode pembentukan
(1945-1947)
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya
memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi
perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite
Nasional Indonesia (KNI), Partai
Nasional Indonesia(PNI) dan Badan
Keamanan Rakyat (BKR).
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong
Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan
kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan
anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang membubarkan PETA dan Heiho. Tugas
untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR merupakan
perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah
memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan.
Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda
bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara
waktu bekerja dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi
prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.
Karena pada saat itu komunikasi masih sulit,
tidak semua daerah di Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut.
Mayoritas daerah yang mendengar itu adalah Pulau Jawa. Sementara
tidak semua Pulau Sumatera mendengar. Sumatera bagian
timur dan Aceh tidak mendengarnya.
Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di
berbagai daerah Sumatera membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi
inti dari pembentukan tentara. Pemuda Aceh mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia
(API), di Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga
Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan
Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).
Tentara Keamanan Rakyat
Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan
tentara Inggris ke Indonesia yang dimanfaat
oleh tentara Belanda untuk kembali ke Indonesia.
Situasi ini menjadi mulai tidak aman. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat
pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara
Keamanan Rakyat.
Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil
Presiden Dr.(H.C.) Drs Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi
Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dan diberi tugas untuk
membentuk tentera. Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR berada di Yogyakarta.
Presiden Soekarno pada tanggal 6 Oktober 1945, mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri
Keamanan Rakyat dan Pemimpin
Tertinggi TKR.
Akan tetapi beliau tidak pernah muncul sampai awal November 1945, sehingga TKR tidak mempunyai pimpinan tertinggi. Untuk
mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan Konferensi TKR di Yogyakarta
dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil
konferensi itu adalah terpilihnyaKolonel Soedirman sebagai Pimpinan Tertinggi
TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi
Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal.
Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat
Untuk memperluas fungsi ketentaraan dalam mempertahankan
kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah
No.2/SD 1946 yang mengganti nama Tentara
Keamanan Rakyat menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat.
Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Kementerian
Pertahanan.
Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman
bahwa mulai tanggal 8 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat.
Tentara Republik Indonesia
Untuk menyempurnakan organisasi tentara
menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang
penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia.
Maklumat ini dikeluarkan melalui Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.
Untuk mewujudkan tentara yang sempurna,
pemerintah membentuk suatu panita yang disebut dengan Panitia Besar
Penyelenggaraan Organisasi Tentara. Beberapa panitia tersebut adalah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor
Suryadarma.
Pada tanggal 17 Mei 1946 panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa
rancangan dan bentuk Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, kekuatan dan
organisasi, peralihan dari TKR ke TRI dan kedudukan laskar-laskar dan
barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.
Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 akhirnya melantik para pejabat Markas Besar
Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada upacara pelantikan tersebut Panglima
Besar Jenderal Soedirman mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili
semua yang dilantik.
Tentara Nasional Indonesia
Usaha untuk menyempurnakan tentara terus
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan
badan perjuangan rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan
rakyat yang lain.
Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman
tersebut pemerintah berusaha untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang
lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan
tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu
organisasi tentara.
Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI
dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama
Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan susunan tertinggi TNI.
Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soerdiman diangkat sebagai Kepala Pucuk
Pimpinan TNI dengan anggotanya adalah Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo,
Laksamana Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor
Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.
Dalam ketetapan itu juga menyatakan bahwa
semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI,
diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang
dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.
Penataan organisasi
(1947-1948)
Kondisi ekonomi negara yang masih baru, belum
cukup untuk membiayai angkatan perang yang besar pada waktu itu. Salah seorang
anggota KNIP bernama Z. Baharuddin
mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di
kalangan angkatan perang.
Selain itu, hasil dari Perjanjian Renville adalah semakin sempitnya
wilayah Republik Indonesia. Daerah yang dikuasai hanyalah beberapa karesidenan di Jawa dan Sumatera yang
berada dalam keadaan konomi yang cukup parah akibat blokade oleh Belanda.
Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum
Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan kedalam
Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP).
Sementara itu Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar
Angkatan Perang Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang
dihapus.
Presiden mengangkat Komodor
Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai
Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Jenderal Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang
bertugas sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan
Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil,
adalah pelaksana taktis operasional.
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di
kalangan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948
yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam
penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor
Suryadarma, sementara itu Markas Besar Pertempuran tetap di bawah
Panglima Besar Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu
Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang berada di
bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf
Angkatan Udara (KASAU).
Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi
2 bagian yaitu penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh
KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh
Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini,
Panglima Besar Jenderal Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya
ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor
Susaliy (mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor
Suwardi (mantan KNIL) dan Jenderal
Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada
akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyelesaikan penataan
organisasi tentara di Pulau Sumatera.
Comments
Post a Comment